Anugrah yang luar yang diberikan oleh Alloh SWT
Search Results for ‘didik’
Indonesian embassy to hold music concert in Beijing
Beijing (ANTARA News) - The Indonesian Embassy in Beijing will organize a music concert themed:”The Rhythms of Indonesia,” at Beijing`s Concert Hall at 7.30 pm local time on Wednesday.
“The concert will be held to promote Indonesia`s arts and culture, and its traditional music instruments,” Third Secretary for Social and Cultural Affairs of the embassy Arianto Surojo said here on Monday.
Indonesian musicians who will perform in the music show include Dwiki Dharmawan who will collaborate with the Krakatau Band, Ita Purnamasari of National Symphony Orchestra and traditional dancer and comedian Didik Nini Thowok.
`
Angklung` bamboo music from West Java will also be presented.
“During the performance, local musicians will collaborate with Indonesian musicians,” Arianto said.
He said it was expected that the Chinese people and foreigners staying in Beijing would be better informed of Indonesian arts with the performance.
“This will eventually promote Indonesian arts and culture to the international community,” he said adding that the embassy will actively promote Indonesia`s cultural potentials to the world through, among others, music and arts performances.
He said that the event would be held as part of the realization of a strategic cooperation signed between Indonesian President Susilo Bambang Yudhoyono and Chinese President Hu Jintao in April 2005.
The strategic cooperation was aimed at increasing bilateral cooperation in various sectors such as politics, economy, social and culture, he added. (*)
Source: http://my-indonesia.info/
Add comment November 8th, 2007
Chinese Wedding : Between Love and Tradition
Membicarakan pernikahan tentu tak lepas dari elemen-elemen tradisi dan ritual khusus yang mengiringinya. Tradisi dan ritual-ritual tersebut biasanya bervariasi menurut daerah asal kedua mempelai dan adat istiadatnya. Sekarang, mari kita telusuri tradisi pernikahan di negara Cina yang tergolong kuat melestarikan adat leluhur. Ritual pernikahan di Cina memang sangat rumit dan penuh dengan berbagai peraturan yang harus dipatuhi. Sesuai dengan perkembangan zaman, tradisi ini telah mengalami banyak perubahan sehingga menjadi jauh lebih singkat dan sederhana, tanpa meninggalkan nilai-nilai dan tujuan utamanya, yaitu : menggabungkan dua keluarga dan melanjutkan garis keturunan yang berkualitas.
Perjodohan
Pada usia yang dinilai cukup untuk menikah, orang tua dari pihak pria mulai mencari calon mempelai yang sesuai. Biasanya, pilihan terdiri dari kalangan teman dan kerabat yang telah cukup dikenal dan memiliki latar belakang pendidikan dan ekonomi yang sepadan. Seorang mak comblang lantas ditunjuk untuk menyampaikan hadiah-hadiah dan mendekati orang tua sang wanita.
Bila kedua pihak keluarga telah setuju, maka mereka mulai menghitung tanggal dan jam kelahiran sang pria dan sang wanita yang akan dijodohkan untuk menentukan kesesuaian pribadi masing-masing dalam berumah tangga. Bila didapati sesuai, maka perjodohan pun dapat dilanjutkan ke tahap berikutnya.
Pertunangan
Pada tahap ini, perjodohan telah disepakati untuk kemudian diresmikan dalam sebuah acara pertunangan. Dalam acara ini, pihak keluarga pria akan menyerahkan sejumlah uang yang telah disepakati bersama dan seserahan berupa kue perkawinan yang berbentuk dragon dan phoenix, teh, anggur dan seperangkat pakaian untuk sang wanita. Kue dragon dan phoenix yang melambangkan persatuan sepasang calon mempelai tersebut kemudian dibagikan kepada para hadirin yang terdiri dari kerabat dekat kedua keluarga tersebut dalam jumlah yang ditentukan sesuai dengan kedudukan dan kehormatan mereka dalam keluarga.
Pernikahan
Pernikahan tradisional di Cina biasanya berlangsung sangat khidmat. Bagi yang masih memegang kepercayaan Konfusianisme, kedua mempelai dipertemukan di depan altar keluarga mempelai pria, dimana mereka berdua memberi penghormatan pada Dewa Langit dan Bumi, arwah para leluhur dan Dewa Dapur, yang disebut Tsao-Chun. Setelah selesai, kedua mempelai kemudian saling membungkuk memberi hormat.
Setelah resmi menjadi suami istri, acara kemudian dilanjutkan dengan upacara minum teh. Upacara ini biasanya dilangsungkan di ruang keluarga, lengkap dengan iringan musik kecapi tradisional Cina. Dalam suatu tata cara yang unik, sang mempelai wanita menyeduh teh dan menyajikannya pada anggota keluarga mempelai pria. Hal ini merupakan perlambang pengabdian sang istri kepada suami dan keluarganya. Setelah upacara selesai, masing-masing anggota keluarga menyerahkan hong bao yang berisi uang atau perhiasan kepada kedua mempelai. Ini merupakan perlambang restu pihak keluarga pada pasangan suami istri tersebut.
Resepsi
Di Cina, suatu pernikahan barulah dianggap lengkap bila telah mengadakan resepsi besar yang turut mengundang seluruh kerabat dan teman-teman dari kedua belah pihak. Resepsi yang biasanya diadakan di rumah atau restoran tersebut akan menyajikan 10 sampai 12 jenis makanan dan minuman. Pesta tersebut merupakan simbol status sosial keluarga, sehingga semakin tinggi status sosialnya, semakin berlimpah makanan dan minuman yang disajikan. Beberapa jenis makanan dihadirkan sebagai simbol khusus, seperti roast pig yang melambangkan kekayaan, ikan atau yu sebagai simbol kemakmuran dan lotus seeds yang merupakan wujud permohonan agar keluarga baru tersebut dikaruniai banyak anak.
Unik, bukan? Walaupun beberapa dari ritual tersebut telah tidak dipraktekkan lagi, seperti perjodohan, namun banyak masyarakat Cina yang masih beranggapan bahwa keberhasilan dalam pernikahan sangat ditentukan oleh nilai-nilai tradisi yang dianut. Percaya atau tidak? Terserah Anda… (sh)
Sumber : www.weddingku.com
Add comment August 30th, 2006
Pameran Keris Nusantara 2006 : Naga Sasra Dihargai Rp5 Miliar
MATA Sumarno tak berkedip memandangi kerisnya yang berasal dari zaman kerajaan Mataram di sebuah etalase Pameran Keris Nusantara 2006 di Bentara Budaya Jakarta. Lelaki asal Solo ini pantas bangga karena menjadi salah satu kolektor yang ikut menyemarakkan pameran yang sangat jarang diselenggarakan di Indonesia itu.
Selain 20 keris milik Sumarno, pameran yang berlangsung 14-23 Juni 2006 tersebut juga memajang sekitar 150 keris yang diproduksi pada zaman kerajaan maupun masa kini. Sebuah pendopo khusus dibuat untuk 30 keris karya agung empu-empu masa lalu dari berbagai daerah di Jawa, Madura, Sumatera, Bali, Kalimantan, Lombok dan Sulawesi.
Keris-keris itu mendapat perhatian karena sedikitnya berumur 100-500 tahun. Apalagi pemilik awalnya tidak sembarangan yakni para raja dan punggawa.
Misalkan saja keris Naga Sasra dengan liuk (lekuk) 13. Naga Sasra merupakan peninggalan seorang raja Majapahit 450 tahun lalu. Kini keris yang meliuk indah bak naga tersebut milik Basuki Wiwoho.
Meski tidak ditawarkan, sang kolektor bisa juga melepasnya jika ada yang mau membeli dengan harga Rp5 miliar.
Selain itu terdapat badik Bugis peninggalan raja Bone yang berwarangka (sarung) dengan gagang emas. Keris raja Bali juga mendapat perhatian karena selain bergagang emas, juga bertabur mirah delima.
Ada juga keris peninggalan zaman kerajaan Sriwijaya di Palembang yang bergagang perak bertabur batu mirah.
Tidak ketinggalan keris asal kerajaan Banjar berwarangka gading berukirkan kepala burung dengan bahan emas bertabur permata yang indah dipandang mata. Kalau yang ini benar-benar tidak dijual karena merupakan warisan yang tiada tara.
Seorang kolektor KRT Benny R Purwonagoro mengatakan ke-30 keris tersebut selain berusia tua juga menunjukkan kecanggihan pembuatnya. Para empu mampu membuatnya meski ketika itu tidak dikenal besi dan plutonium. Mereka mendapatkan logam tersebut dari bebatuan yang mengandung besi dan meteor.
Bahan yang beratnya bisa mencapai 20 kilogram, mereka tempa dengan api. Dibakar, lalu di palu berkali-kali, sampai mendapatkan bentuk yang paling sempurna. Bahan tersebut kemudian susut menjadi lempengan 1-2 kilogram. Lempengan tersebut kemudian dicampur dengan batu meteorit yang mengandung plutonium untuk menciptakan pamor keris.
Benny menerangkan untuk menciptakan keris sang empu harus melipat lempengan hingga beratus kali. Bahkan ada yang lebih dari 4.000 lipatan agar berat keris bisa menyusut hingga sekitar 0,5 kilogram.
Tidak lupa, sang empu melakukan lakon tertentu seperti berpuasa, bertapa atau tirakatan untuk mendapatkan petunjuk Yang Maha Kuasa. Karenanya, keris dibuat tidak untuk membunuh orang.
Tak heran bila senjata khas Nusantara ini diakui Organisasi Pendidikan dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa Bangsa (Unesco) sebagai Karya Agung Warisan Kemanusiaan (Oral and Intangible Heritage of Humanity). Saat ini Unesco baru menetapkan 47 karya agung kemanusiaan di seluruh dunia.
Sayangnya, menurut Benny, banyak keris bersejarah menghilang dari Indonesia. “Sebagian keris yang menjadi warisan leluhur kita, malah sudah pindah tempat ke luar negeri terutama di Inggris, Belanda dan Amerika Serikat,” kata Benny.
Untuk mengantisipasinya, Benny mengatakan pemerintah melarang ekspor keris yang berumur lebih dari 50 tahun. Kebijakan ini diharapkan juga bisa memacu para empu masa kini untuk berkarya dan mendapatkan penghasilan.JBP/hendra gunawan
Sumber : www.indomedia.com/bpost/062006/19/depan/utama9.htm
Add comment June 23rd, 2006
Warisan Dunia di Ujung Barat Pulau Jawa
Berbagai macam pengalaman menarik bisa didapatkan di hutan warisan dunia ini dan interaksi dengan flora dan fauna penghuni habitat hutan taman nasional menumbuhkan kepekaan dan cinta terhadap lingkungan alam.
Petualangan menulusuri hutan (trampping) bagi banyak orang sedikit menakutkan tetapi tidak sedikit pula yang merasa senang dan tertantang dengan aktivitas ini bahkan banyak yang mengatakan aktivitas semacam ini adalah sebuah wisata yang sangat mengasyikkan. Keasyikan ini didapat dalam interaksi dengan lingkungan alam dan habitat tempat berbagai macam binatang liar hidup.
Salah satu tempat menarik yang sering dijadikan tujuan wisata alam adalah Taman Nasional Ujung Kulon. Lokasi ini banyak diminati oleh wisatawan asing maupun domestik karena tempat ini merupakan cagar alam yang dilindungi oleh dunia dan menyimpan kekayaan flora dan fauna yang sangat khas. Karena itu UNESCO menetapkan kawasan Ujung Kulon sebagai World Heritage Sites atau salah satu warisan dunia.
Terletak di ujung barat Pulau Jawa, Taman Nasional Ujung Kulon memiliki lebih dari 700 jenis tumbuhan dan diantaranya merupakan jenis tanaman langka yang dilindungi. Selain itu terdapat beberapa jenis binatang langka yang juga dilindungi diantaranya Banteng (Bos javanicus), Ajag (Cuon alpinus), Lutung (Presbytis cristata), Rusa (Cervus timorensis), Macan tutul (Panthera pardus), Kucing batu (Felis bengalensisi), Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus). Juga ratusan jenis burung antara lain Elang, Burung Udang Biru, Cekakak dan masih banyak lagi. Di antara binatang langka itu Badak bercula satu sangat identik dengan Taman Nasional Ujung Kulon.
Bagi mereka yang menyukai tantangan sekaligus berwisata alam tempat ini adalah alternatif yang sangat menawan. Dalam wisata ini berbagai unsur kegiatan dapat dilakukan sekaligus misalnya unsur penelitian, pendidikan, pemotretan dan penelusuran sungai dan juga wisata budaya.
Dengan jarak tempuh kurang lebih 153 km yaitu dari Jakarta, Pandeglang dan Labuan serta menempuh waktu kurang lebih 3,5 jam, Taman Nasional Ujung Kulon sangat mungkin untuk dijangkau terlebih saat ini banyak sekali travel-travel yang menawarkan paket tour wisata petualangan alam. Bagi mereka yang memiliki naluri berpetualang di alam bebas dan mencintai alam pasti akan betah menikmati suasana alam yang menakjubkan ini. Apa lagi dengan area yang begitu luas, banyak obyek yang dapat dinikmati.
Wisata Alam Andalan
Taman Nasional Ujung Kulon masuk dalam wilayah kabupaten Pandeglang, propinsi Banten ini, dapat dicapai melalui kota Labuan. Jika ingin bertandang kesana, terlebih dahulu mengurus perizinan di kantor taman nasional sebagai pusat informasi. Dari kota Labuan ini dapat dilanjutkan melalui jalan darat selama 2 jam hingga ke desa Taman Jaya. Desa ini merupakan desa terakhir sebelum memasuki wilayah Taman Nasional. Selain jalan darat, dapat juga dicapai melalui laut. Kapal motor dapat disewa seharga 1,3 juta per hari dengan kapasitas 20 orang. Dengan membayar administrasi perijinan sebesar Rp. 4.500,per orang untuk perjalanan maksimal 7 hari, jelas perjalanan ke Ujung kulon sangatlah murah.
Taman Nasional yang diresmikan pada tahun 1992 ini, memiliki pembagian Zona dalam rangka perlindungan atau konservasi alam. Pertama adalah Zona inti dimana di dalamnya merupakan prioritas utama dalam hal perlidungan clan sama sekali tidak boleh dieksploitasi. Di luar Zona inti adalah Zona Rimba yang menyangganya. Di area inilah biasanya digunakan sebagai jalur untuk berwisata. Di luar 2 Zona itu adalah Zona pemanfaatan. Dimana Zona ini dapat di gunakan untuk kepentingan penduduk tetapi dalam batas - batas tertentu.
Karena merupakan dataran rendah dan beriklim panas, maka suhu rata-rata di sini berkisar antara 25 hingga 30 derajat celcius. Waktu yang yang tepat untuk mengunjungi kawasan ini adalah sekitar bulan April hingga September. Di bulan bulan yang dikenal dengan musim angin timur, cuaca lebih bersahabat dibandingkan dengan bulan-bulan antara September sampai April. Saat itu dikenal dengan musim angin Barat serta permukaan laut yang tinggi clan kurang bersahabat.
Berbagai macam tempat dan kegiatan dapat anda nikmati. Selain semenanjung Ujung kulon, terdapat 3 pulau yang menjadi tujuan wisata, yaitu, pulau Handeleum, Pulau Peucang clan Pulau Panaitan. Dari keempat daerah tujuan wisata ini berbagai kegiatan dapat Anda lakukan.
Di desa Taman jaya, terdapat pos petugas serta beberapa penginapan bagi para pengunjung. Di dekatnya sebuah kawasan yang dikenal dengan nama gunung Honje sudah merupakan obyek wisata alam yang menarik. Berbagai jenis Monyet, Lutung, dan Owa Jawa hidup di sana, di tengah-tengah ancaman para penduduk, yang membuka pemukiman serta mengambil hasil hutan. Selain itu ada obyek air terjun dan sumber air panas. Dari desa inilah gerbang untuk memulai penjelajahan ke dalam semenanjung Ujung kulon.
Di Semenanjung Ujung Kulon ini Anda dapat melakukan penjelajahan sambil menikmati keindahan pantai, hutan clan gunung sambil mengamati kerindangan pepohonan serta tumbutumbuhan yang langka. Tidak hanya itu, pengamatan berbagai binatang langka juga dapat dilakukan di sini.
Di pulau Handeleum, terdapat sebuah wisma sebagai tempat menginap. Sambil mengamati ikan beraneka jenis berenang di sekitar dermaga, kawanan rusa juga dapat ditemui sedang mencari makan di padang rumput sekitar wisma. Tak jauh dari Pulau Handeleum, sungai Cigenter merupakan obyek wisata yang memiliki tantangan tersendiri. Bagaimana tidak, untuk menikmati daerah aliran sungai Cigenter, para pengunjung harus menggunakan sebuah Jukung, perahu kecil dari kayu berbentuk memanjang, untuk menelusuri sungai tersebut sambil menikmati keasrian hutan.
Di sekitar pulau Peucang juga tak kalah indahnya. Di pulau ini juga terdapat penginapan dengan bangunan dari kayu tetapi memiliki kapasitas kamar yang lebih banyak, ada yang ber AC dan memiliki kamar mandi sendiri bahkan air pangs. Sebuah restoran mewah juga hadir di sang untuk menyediakan berbagai menu balk Asia maupun Eropa. Selain pantainya yang berpasir putih, hutan asri dengan hewan-hewan seperti monyet, rusa, burung merak dan babi hutan berkeliaran dengan bebasnya dapat anda temui sambil berjalan-jalan.
Jika beruntung, Anda dapat menuju karang Copong di sebelah utara Pulau peucang untuk menikmati deburan ombak sambil menyaksikan pemandangan Taut lepas dengan cuaca yang cerah. Pemandangan laut juga tak kalah menarik dibarengi dengan aktivitas berenang di sekitar pantai sambil snorkling, ataupun menyelam, mendayung perahu, ataupun memancing, berlayar dan berselancar. Untuk berselancar, Pulau Panaitan adalah tempatnya. Di pulau ini telah terdapat beberapa titik yang telah menjadi daerah tujuan para peselancar dunia untuk menaklukkan deburan ombak yang ganas.
Luas keseluruhan Taman Nasional 136.656 ha dan hanya memliki sekitar 109 pegawai yang bertugas di lapangan. Jelas hal itu sangatlah menyulitkan dalam menjaga keamanan kawasan konservasi ini. Padahal ganguan dari tangan-tangan jahil yang merusak terumbu karang dan ikan-ikan menggunakan racun dan bom masih banyak jumlahnya. Apalagi penebangan dan perburuan liar yang ikut menjarah kekayaan alam Ujung Kulon juga terus menghantui. Tugas kitalah sebagai penikmat ekowisata untuk terus ikut menjaga keasrian taman nasional ini.
Sumber: Majalah Travel Club
Add comment June 20th, 2006
Visions of Paradise : An Exhibition by Didik Nurhadi at Bali’s Ganesha Gallery through May 12, 2006.
In his newest exhibition at the Ganesha Gallery at the Four Seasons Resort at Jimbaran Bay, the Javanese artist Didik Nurhadi focuses his unique vision on a new subject – the famed Island of Paradise – Bali.
Didik’s art can best understood as a parallel, somewhat curious version of contemporary Indonesian life and society. At initial glance, his caricatures evoke humor; but tread with care – on re-examination his characters also offer biting commentaries reflecting Didik’s take on his nation’s hypocrisies and foibles. While his criticism is subtle and self-depreciating, his inflated and literally “balloon-life” human subjects sometimes border on the grotesque - especially when dressed in traditional costume and struggling for material gain.
Although the art of Didik suggest an influence by the Columbian artist Botero, the art critic Jean Couteau argues that Didik’s world of fat people is an independent discovery. Unlike Botero, Didik’s work is always a commentary and never an escape from reality. As the son of a military man who came of age during the iron fisted rule of General Suharto, Didik is no stranger to discipline or censorship. The shortcomings of democracy and the reform movement after the euphoria that followed immediately in the wake of Suharto’s fall have also taught him to take no one, including himself, too seriously.
This young man embarked on his artistic career as Indonesia slid into a tumultuous decade of political and social change. Accordingly, his work reflects a biting commentary on the tragedies that have befallen his country and the very human failings of those whose job it is to safeguard the nation. However, social criticism lacking introspection and a modicum of self-deprecation, becomes a tiresome harangue, faults absent in the work of Didik Nurhadi who captures the irony of the Indonesian situation by satirically depicting his subjects as hugely rotund characters with prominent lips who reside in surrealistic landscapes
Born in Central Java in 1972, Didik Nurhadi attended the Faculty of Art at the Indonesian Art Institute (ISI) in Yogyakarta, graduating in 1992.
Visions of Paradise
Didik Nurhadi’s Visions of Paradise, an exhibition by Didik Nurhadi at the Ganesha Gallery at the Four Seasons Resort at Jimbaran Bay, open daily from April 19 through May 12, 2006. Gallery is open daily from 10:00 a.m. through 6:00 p.m..
Source : www.balidiscovery.com
Add comment May 29th, 2006
Malang is a good place to view at a good walk.
Malang was a popular stay for colonials. The city had a cool climate and is located on a nice, with vulcanoes surrounded plauteau, 450 metres above the pressing heat of the lowlands. In the east the active Gunung Semeru dominates the view; the Gunung Anjasmoro, Arjuna and Penderman in the north are covered with hotels and holiday places. Southwest of the city is the mystical Gunung Kawi, where pilgrims pray for prosperity.
About 36 kilometres west of malang is the mystical Gunung Kawi, favorite place among pilgrims who want to become rich instantly. The biggest chance for success is the evening before Jumat Legi, which returns every 35 days following the Jawanese calender.
Against the mountains are the graves of Mbah Djugo and Mbah Imam Sudjono; less about them is known, except their spirits are very strong. In the building with two graves are cristal crownes, with a thank you from people who’s wish was accomplished. The story is that an poor kretek producer came to this place to be inspired for a name of his company, and became rich in a very short time. Thig smoke from incense surrounds the religious. They do their wished to the juru kunci, they ‘key holder’ or graveguard, while they throw a handfull of leaves over the graves.
Following the Dinoyo-inscription from 760 a kingdom flourished at the location of the current city; in the area there are many old objects. The modern Malang is an colonial city though. The growth started after 1870, when Europeans built coffe-, rubber, and cacao plantations and the sugar industry of the government started to grow. The wealth attracted more and more Dutch. They built houses in the city, and holiday house in the mountains of Batu, Selekta and Lawang.
The alun-alun of Malang was constructed in 1882 following the standard pattern; at it’s border a market, a mosque, a prison and regents house. Later the Europeans built the house of the assisting resident, the Protestant church and later a bank building and a society. In 1914 a new city centre across the River Kali Brantas was constructed around a square at it’s centre. At the same time a new quarter north of the city was built, complete with wide lanes and big trees. The colonial feeling can still be felt around here.
Afther the war the sigarette industry gave the city new economic growth. In the massife factory of PT Bentol, local dark tobacco is mixed with clove and made into an kretek-sigarette, which are mostly hand-rolled and packed.
The good, 90 kilometre road from Surabaya to Malang takes you to the botanical garden of Purwodadi, an department of the Kebun Raya Bogor. The garden, where the beautifull Baung-falls are, stretches all the way to the lower hills of the Arjuna.18 kilometres from Malang is Lawang, where the Dutch had a sanatorium and a psychiatric institute. The imposant Jugendstil hotels Niagara, which is said to be haunted, was designed for a rich Chinese in 1911 by the Brasillian architect Pinitu.
Malang on foot
Malang is a good place to view at a good walk. The Balai Kota Malang, the city house at Jalan Tugu is the best point for a start. On the big, round square with the mahony trees for the shade. Earlier there was a fountain in the centre, but that was replaced with the tugu ( memorial ) after the independence.
The Splendid Inn at Jalan majapahit used to be a landhouse; in 1973 it was rebuilt into a hotel. At the end of Jalan Majapahit is the Kali Brantas. At the other side of the bridge is Wisma IKIP. This used to be a hotel, which was located high above the riverbanks. The spot is still famous because of it’s bathing. At the slope at the othe bank are houses from the kampung, close together. Now there are two posibillities: a long walk to the market quarter or a short one to the alun-alun. Turn right at the Pasar Senggol roadsign and cross the bridge afterwards. Here is the eveningmarket, where traders sell dishes like tahu campur, mie bakso ( baso ) anf rujak cingur.This market is just besides the Pasar Bunga, flower market, a terraced nursery on the river banks. Past Jalan Kahuripan is the Ayani-mosque with the nice tileddome. Turn left here, and cross the bridge towards the crossing of Jalan Sermeru and Jalan Basuki Rakhmat. Above the shopping windows are the original colonial walls still visible.
Toko Oen
The short route takes you from Jalan Majapahit just towards the cathedral. The road ends at Jalan Basuki Rakhmat, north of the alun-alun. Cross the street towards Toko Oen. Since the father of the current owner opened the store at the end of the 1930’s, on the inside nothing changed. Tourists and ladies from Malang buy fresh bread and nice cakes there, though it’s closed on Mondays. Across the street is , besides the cathedral, the shopping centre of Sarinah, the former society Concordia. On the top floor, good handycrafts from Indonesia is for sale.
Besides the western road of the alun-alun is the reformed church and just a little ahead the most important mosque of the city. In the southwestern corner of the square is Hotel Pelangi, the former Palace Hotel. Dutch tiles decorate the walls of the coffeehop. At the southern side of the square is a main kantor pos post office. It’s a gathering point for street sellers of food, toys and sellers who try to sell medicines to passers-by.
The new business district of Malang is more to the Southeast around Jalan h. Agus Salim. At this street are the shopping centres of Mitra and Gajah Mada Plaza, with well-provided supermarkets. One door ahead is the Malang Plaza with Kentucy Fried Chicken, across a big pendopo where the regional government seats. Further south is the maze of Pasar Besar ( big market ) It’s an improvised mix of all kinds of things, erected after the old pasar burned to the ground in 1980. Walk towards the Chinese area and turn left into Jalan Irma Suryani/Jalan Pasar Besar for a visit to the old En An Kiong temple.
Colonial suburbs
The northwestern part of the city is most easy to reach by becak, those are located at the central alun-alun. Ask the driver to go towards Jalan Kawi. At the crossing with Jalan Arjuna is the Webb Institute e.g. Bamboe Denn, an English school which also offers a cheap place to sleep, Here you can get your information about tours to Semeru and the Bromo from Tumpeng, and to the east the nature reserve of Lalijiwo at the Arjuno from Lawang.
Walk from Jalan Kawi towards the bookstort ‘De Wijze Uil’, specialized in foreign newspapers and magazines, and a big variety of English books about Indonesia. At the end of Jalan Kawi is restaurant Amsterdam, with tables in the garden. Get in the becak again, and let you drive to Jalan Ijen, a grand boulevard with houses surrounded by old palm trees. About half way is the army museum Brawijaya, with Japanese tanks at the entrance. Across the street is the library and across that the shop Batik Semar, put away in an old land house. Some solid pre-war houses were restaurated completely, including the exotic sculptures. North and west of this quarter are the campusses of Brawijaya University and IKIP Malang Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan ).
Holiday places
Twenty kilometres west of Malang are the holiday places of Batu en Selekta, which are from the Dutch times. The old colonial buildings and the modern weekend vill;a’s belong to the rich of Malang and Surabaya.
The main road from Malang to the northwest leads to Dinoyo, with a good pottery industry. Two buildings besides the road have a swimming pool and playground: Togo Mas and Sengkaling; quiet on weekdays.
A turn to the right takes you to Selekta. The bumby road climbc up along villas and impressivee trees towards Hotel Selekta. TGhe hotel, once an exclusive place of relaxation, is begint a big market on a hill, which guarantees a good view and a cool mountain breeze. The big swimming pool is in the park, which stretches along the mountain slope.
The village of Sumber Brantas is just ahead, near the sources of the Brantas river. The road full of holes climbc to the vegetable nurseries and forested ravains over which is a cool fogg. Past the pass are untouched hot sources of the Canggar, a well-known spaot among youths.
Back on the main road appear dozens of warung when you near the small city of batu. Various kinds of vegetables are sold; the area is well-known for its vegetables. The holiday hotels are past Batu, hold a rest at Amsterdam restaurant.
West of Batu starts Songgoriti, a place of holiday. Near Candi Songgoriti are the hot suplhur sources and the recreation park Tirtanirwana with swimming pools, playgrounds and a fishing pond. The main road with hairpin curves climbs along Gunung Panderman. A statue of a cow guards the gate to the dairly lands; on the left a path leading to a park with campsites and a panoramic view. This path ends at a small densely forested claft with a 60 metre high fall Cuban Rondo.
Back on the main road the route takes you to sawahs, some falls and closed, mountainous rainforest to the cities of Pare and Kediri in the lowlands. At the border of the forest, 28 kilometres from Malang, is the swimming pool of Dewi Sri. Here the road descents towards Ngantang and the Selorejo-reservoir ( 43 kilometres from Malang ), loved by watersporters.
The southern coast
60 Kilometres south of Malang are the beached of the rough southern coast, battered by wind, deserted and beautiful. The most are only reachable by car; a journey through poor farmers villages over rough landroads and stone hills. Ngliyep is attracting most visitors, especially on holidays like Labuhan ( normally in October ). However the sea looks very attractive, along these beaches are dangerous streams and whirlpools. This is the place of the Queen of the Southern Sea, Myai Ratu Kidul; the color green angers her and a huge wave takes away innocent swimmers.
At Sendangbiru swimming is safe. Here, boats can be hired ( make a clear price after bargaining ) for a trip to the island reserve Sempu with sandy creeks which are overshadowed by low trees. It is said that this is the last place where the Jawanese tiger can be found. The green area of the 800 hectare big island is being engulfed in warm waves, and offers a view towards Jawa’s green coastal area.
The beach of Balekambang is a popular place; in the sheltered bay are two small islands, connected by footbridges. On one of them is an Balinese temple, in which every March the Jalanidipuja-ceremony is held. On the beach here Suran-ceremonies - to celebrate Jawanese New Year - are held too, normally in July.
All three beaches can be reached by car. Others are only with four-wheel-drive and on foot along paths used by fishermen, like the beaches of Modangan and Tamban.
Add comment May 16th, 2006
Menjual Pulau Impian Karimunjawa
Apa yang tidak bisa dijual dari Kabupaten Jepara, kecuali kayu ukir yang sudah lebih awal mendunia? Jawabnya, hampir semua potensi di kawasan pesisir pantai utara (pantura) Jawa Tengah ini layak jual. Tak kecuali sektor pariwisatanya.
Memang, diam-diam tanpa banyak promosi, Kabupaten Jepara sejak lama menyembunyikan sebuah tempat wisata yang elok tiada tara, yaitu Pulau Karimunjawa. Pulau indah menawan ini memiliki “seribu keajaiban” yang dimungkinan selalu membikin penasaran kaum pelesiran. Namun barangkali lantaran kurang promosi, serta letaknya yang terisolir (terpisah 80 kilometer dari daratan kabupaten pemangkunya), menyebabkan lokasi disini menjadi kurang begitu dikenali.
Sebelum dekade 80-an, tempat ini senantiasa menarik perhatian masyarakat luas serta menyita “energi” aparat pemerintah kabupaten. Bukan karena potensi pariwisatanya yang sangat besar, melainkan letak geografisnya yang mengesankan kawasan ini sebagai daerah terisolir.
Jika musim barat (hujan lebat disertai angin kencang) tiba, wilayah yang terdiri atas 27 pulau besar kecil ini sangat menyita perhatian. Sebab pada musim barat yang biasanya jatuh pada bulan November sampai Maret, hubungan masyarakat Karimunjawa dengan daratan Pulau Jawa praktis terputus. Jarang ada kapal berani berlayar, terlebih lagi kapal-kapal kecil milik para nelayan. Akibatnya, tentu bukan saja menyangkut masalah beras, tetapi juga berkait erat dengan penyediaan 9 bahan pokok yang terancam menipis maupun hal-hal yang berhubungan dengan masalah kesehatan.
Itu sebabnya, mengapa berwisata kesini biayanya relatif mahal. Untuk makan saja, kalau kita ingin menikmati sayuran dengan lauk ayam kampung mesti keluar kocek puluhan ribu rupiah per kepala. Ini pun tidak dapat tersaji setiap hari. Lantaran masyarakat setempat mesti mendatangkan bahan bakunya dari Jepara yang mereka tempuh selama dua hari pulang-pergi dengan perahu-perahu kecil. Kalau kita ingin makan murah di Karimunjawa, menunya hanyalah ikan laut bakar dengan sambal kecap saja. Karena harga minyak goreng di sini juga selangit.
Karena letaknya pula, Karimunjawa pada masa itu terkenal sebagai pulau “buangan” dan “hukuman” bagi aparatur pemerintah yang indisipliner. Namun ketika dunia pariwisata nasional mulai bangkit, setelah ekspor minyak tak lagi dapat dijadikan sebagai tumpuan utama, Karimunjawa kembali menjadi pusat perhatian.
Mengapa? Lantaran kawasan ini merupakan perwakilan tipe ekosistem hutan tropis dataran rendah, hutan mangrove, terumbu karang, dan sekaligus memiliki habitat berbagai jenis ikan laut dengan dukungan tingkat kejernihan air yang belum tersentuh polusi. Apalagi, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 161/MENHUT-II/1988 telah menetapkan kawasan seluas 111.625 hektar di Karimunjawa sebagai Taman Nasional Laut dengan titik berat untuk pengawetan sumber daya alam, penelitian, pendidikan lingkungan, tourisme dan rekreasi. Dengan demikian diharapkan fungsi ganda kawasan konservasi sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis dan ekosistemnya serta kelestariannya dapat terjamin.
Kelayakan Karimunjawa yang berpenduduk sekitar 10.000 orang sebagai daerah tujuan wisata, sungguh tak dapat diragukan lagi. Hamparan pemandangan laut di sela-sela pulau, tingkat kejernihan air, pasir putih yang membentang di sepanjang pantai dengan pohon kelapa menjulang tinggi, ditambah 242 jenis ikan hias, serta 133 genera fauna akuatik, merupakan daya tarik yang layak dipasarkan baik kepada wisatawan domestik maupun manca negara.
Potensi ini oleh Pemkab Jepara dicoba dikemas dan dipadukan dengan potensi yang ada di dataran Jepara, terutama yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif. Langkah ini ditempuh mengingat letak Jepara yang “nglengkong” dan tidak dilewati jalur transportasi utama pulau Jawa.
“Sehingga diperlukan kiat khusus untuk menarik wisatawan maupun investor agar mau mengarahkan perhatiannya ke Jepara. Dengan demikian Jepara, khususnya Karimunjawa kelak bukan saja menjadi daerah tujuan wisata alternatif tetapi menjadi daerah tujuan wisata utama,” terang Bupati Jepara Drs Hendro Martojo.
Luas dataran kepulauan Karimunjawa adalah 7.120 hektar, berupa gugusan-gugusan yang terdiri atas 27 pulau. Namun yang resmi dihuni penduduk hanya 5 pulau yaitu Karimunjawa, Kemujan, Parang, Nyamuk dan Pulau Genting. Dataran Karimunjawa merupakan daerah dataran rendah yang mempunyai medan bergelombang dan berbukit-bukit dengan ketinggian 65 - 506 meter dari permukaan laut. Sebagian besar dataran terdiri hutan tropis dataran rendah. Sedangkan pantainya ditumbuhi bakau yang sekaligus penyusun tipe vegetasi mangrove dan perairannya banyak terdapat terumbu karang yang bisa dilihat dari atas perahu dengan mata telanjang karena airnya sangat jernih.
Menurut Hendro Martojo, yang menjadi daya tarik utama kepulauan Karimunjawa selama ini memang kondisi perairannya yang jernih. Saking beningnya, sehingga sekitar kedalaman 5 sampai 7 meter wisatawan masih dapat melihat pemandangan alam kehidupan bawah laut. Semua pulau di kawasan Karimunjawa juga memiliki pantai pasir putih dengan garis pantai yang panjang.
Jika anda cukup nyali dan ingin berkunjung ke Karimunjawa, sekarang tidak perlu lagi khawatir soal transportasi, akomodasi, komunikasi, listrik atau pun air minum. Soal transportasi, saat ini telah tersedia sedikitnya 2 buah kapal penumpang serta pesawat terbang jenis cassa. Perhubungan antar pulau di dalam kawasan kepulauan Karimunjawa dapat dilayani dengan perahu motor milik para nelayan. Sedang untuk rute Karimunjawa ke lapangan terbang bisa dilayani dengan kendaraan bermotor (ojek).
Apabila wisatawan ingin menikmati keindahan dasar laut Karimunjawa yang bening dan panorama indah pulau-pulau di sekitarnya, Pemkab Jepara telah menyediakan sebuah kapal ferry dan 2 buah kapal kaca yang bisa dimanfaatkan. Disamping itu guna menarik kunjungan para wisatawan telah pula dibangun dan disediakan sarana transportasi yang lain berupa lapangan terbang perintis, pelabuhan laut perintis di Tanjung Pudak serta pelabuhan perikanan di pusat kota Karimunjawa.
Untuk memenuhi kebutuhan pengunjung supaya mau tinggal lebih lama, Karimunjawa juga telah melengkapi diri dengan sedikitnya 10 buah home stay milik penduduk, 1 buah wisma milik Pemkab dan 4 buah cottage milik swasta di Pulau Tengah. Diluar itu, Karimunjawa juga sudah memiliki sentral telepon otomat dengan fasilitas sambungan internasional. Khusus listrik, dicukupi melalui pembangkit generator. Sedang kebutuhan air minum dipasok dari sumur-sumur dan sumber air alami.
Masa depan Karimunjawa sebagai daerah tujuan wisata ke depan disorot bakal cerah, mengingat potensi dan pola pengembangan pariwisata di Jawa Tengah, yang akan menarik segi tiga emas “Semarang-Jepara-Karimunjawa”. Segi tiga ini secara umum masuk ke dalam sub daerah tujuan wisata A dan sub daerah tujuan wisata B dan pada kedua sub DTW inilah potensi wisata terbesar Jawa Tengah berada.
Tempat tujuan wisata potensial pada sub DTW A dan DTW B antara lain Surakarta dan sekitarnya, kawasan Dieng, kawasan Merapi-Merbabu, Semarang serta Jepara dengan Seni Ukir dan Karimunjawa. Potensi wisata pada wilayah-wilayah tersebut, secara terus menerus dikembangkan oleh pemerintah dan diharapkan dapat menarik sebanyak mungkin wisatawan baik nusantara maupun manca negara.
Hal ini terbukti dengan dibukanya bandara Adi Sumarmo Surakarta sebagai bandara Internasional yang bukan hanya diarahkan pada angkutan bisnis secara umum, namun juga diarahkan untuk penambahan gerbang masuk wisatawan ke Jateng. Denghan adanya gerbang Adi Sumarmo, diharap semakain banyak wisatawan manca negara yang datang ek Jateng, karena dapat langsung masuk tanpa harus transit di bandara lain sebelumnya.
Dengan adanya harapan segi tiga emas Semarang-Jepara-Karimunjawa menjadi alternatif utama tempat kunjungan wisata setelah Yogyakarta dan Surakarta, tentu membawa suatu keharusan bagi penyedia sarana akomodasi wisata yang memadai baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Disamping itu perlu juga dikemas atraksi wisata, baik wisata alam dan atraksi wisata budaya. Dan bila saatnya nanti tiba, diharapkan akan ada penerbangan dari Bandara Adi Sumarmo Solo maupun bandara Soekarno-Hatta menuju Karimunjawa. “Kami merasa masih perlu terus menggenjot potensi wisata Karimunjawa, agar nanti dapat menjadi kekuatan riil perekonomian daerah. Bukan saja agar bisa memberikan sumbangan bagi pendapatan daerah, tapi yang lebih penting, melalui kegiatan ini perekonomian masyarakat terangkat pada tataran yang lebih mapan,” jelas Bupati Jepara Hendro Martojo. (Pudyo Saptono).
http://www.suarakarya-online.com/news.html?
Add comment April 25th, 2006
Taman Burung dan Anggrek TMII,Lokasi yang Digarap Serius
Dari banyak contoh lokasi taman burung di Indonesia, Taman Mini Indonesia Indah adalah model yang serius sebagai arena wisata dan konservasi. Di sini, pengelola taman membangun sebuah tempat yang mengkhususkan pemameran beraneka burung yang terdapat di negeri ini. Dari sekitar 1.300 jenis yang ada di Nusantara, taman ini memiliki lebih dari 260 jenis asli Indonesia dan beberapa burung dari negeri-negeri lain.
Awalnya, taman burung merupakan satu kubah yang menampung berbagai jenis burung dari banyak bagian dunia. Dalam pertumbuhannya, jumlah terus bertambah hingga menjadi sembilan buah. Ini didasarkan pada kesadaran akan keistimewaan Indonesia dalam hal fauna burung. Selain lokasi rekreasi, taman burung juga diarahkan menjadi daerah untuk keperluan pendidikan. pelestarian. penangkaran dan penelitian.
Penataan yang menarik dari taman burung ini ialah dasar zoogeografi atau pola sebaran binatang. Taman Burung TMII dibagi menjadi dua belahan, barat dan timur, yang dipisahkan oleh Garis Wallace. Lingkungan vegetasinya pun mengikuti pola ini, di samping pemikiran pilihan jenis-jenis yang berguna dalam menghasilkan buah-buahan. biji dan pucuk yang menjadi pakan burung.
Taman Burung berfungsi juga sebagai loka bina masyarakat burung. Sering sekali taman ini dijadikan ajang lomba burung serta lomba bagi anak-anak dan siswa untuk mengenal lebih dalam mengenai burung. Sebagai tempat penelitian. taman ini sudah menjalankan fungsinya bagi para mahasiswa. Dari segi penangkaran dan pelestarian, Taman Burung telah berhasil mengembangbiakkan lebih dari 100 jenis, di antaranya sekitar 30 jenis merupakan jenis-jenis yang dilindungi dan langka.
Taman Anggrek
Di TMII, juga ada taman anggrek yang menampung koleksi dari Nusantara dan beberapa negara lain. Luasnya hanya 2 hektar, tetapi isinya padat. Lebih dari 100 anggrek alam dan lebih dari 50 anggrek silangan dapat dijumpai di sini. Rumah kaca dan rumah pemeliharaan lainnya dengan faktor-faktor lingkungan yang dapat diatur. memungkinkan tumbuhnya anggrek-anggrek di sini secara maksimal dan menghasilkan bunga-bunga yang indah memesona.
Tata lingkungan dalam taman ini diatur sebegitu rupa. sehingga pengunjung akan merasa nyaman tinggal di dalamnya. Suasana damai menyelimuti taman ini dan menenteramkan hati siapa saja yang berkunjung.
Dari ribuan jenis anggrek, Phalaenopsis alias si ”Anggrek Bulan” merupakan salah satu yang cukup banyak penggemarnya. Anggrek indah ini memiliki potensi besar dan prospek yang sangat cerah. Terlebih, sebagian besar jenis Phalaenopsis species terdapat di Indonesia. Dari seluruh jenis anggrek bulan di dunia, 65 % di antaranya asli Indonesia. Jenis-jenis anggrek ini tersebar hampir di semua pulau.
Rumah Kaca Anggrek Bulan yang berada di Taman Anggrek merupakan sebuah Automatic Green House, yang berfungsi untuk memanipulasi unsur-unsur fisik lingkungan sehingga memungkinkan Anggrek Bulan dapat hidup dan berkembang dengan lebih baik. Kelebihan rumah kaca ini adalah kemampuannya mengendalikan faktor lingkungan, yang terdiri dari temperatur, kelembaban dan intensitas sinar.
Tiga buah instrumen pengatur temperatur (fan exhausting) akan berputar untuk menjaga kestabilan temperatur agar tetap berada di sekitar 18-29 derajat C pada malam hari dan 25-29 derajat C di siang hari. Kelembaban lingkungan antara 75 % - 85 % dijaga dengan kerja sama antara fan dengan jaringan air (cooling pad).
Intensitas sinar diatur dengan menggunakan dua jenis net, yang prinsip kerjanya diatur secara otomatis dengan suatu alat pengatur waktu yang telah diprogram.
Saat ini dalam bangunan kaca berukuran 36 X 9 m, dan tinggi 5,6 m, berjajar tiga jalur meja dengan ukuran setiap meja 28 X 1,8 m. Masing-masing meja memiliki kapasitas sekitar 1.000 buah pot. Secara keseluruhan pot yang ada berjumlah 3.067 buah. Meja-meja panjang tersebut dilengkapi dengan pipa dan alat pemutar untuk memudahkan penggeseran dan pemindahannya.
Secara umum, keistimewaan tanaman yang dihasilkan oleh rumah kaca dengan sistem ini bila dibandingkan dengan budidaya secara tradisional adalah pertumbuhan tangkai bunganya lebih cepat dan relatif lebih seragam. Kecepatan mekarnya bunga pun seragam. Selain itu, dengan penggunaan pendingin udara pada malam hari, tanaman dirangsang untuk membentuk kuncup bunga. Keseluruhannya tentu saja semakin menambah nilai estetis dan nilai ekonomis.
Add comment March 13th, 2006
Taman Laut Bunaken Terancam Rusak
Ekosistem di sejumlah kawasan wisata Taman Laut Nasional Bunaken (TLNB) di Manado, Sulawesi Utara, yang keindahannya sudah kesohor di jagad raya, saat ini terancam rusak. Pasalnya, tumpukan sampah yang semakin hari semakin menumpuk dari sejumlah muara sungai yang sengaja dibuang oleh orang tak bertanggung jawab di Kota Manado, mengalir ke Teluk Manado.
Akibatnya, karang laut yang indah bersama pemandangan di dalam laut yang tak kalah menakjubkan itu dikuatirkan akan punah. Padahal selama ini keindahan taman laut tersebut dimanfaatkan oleh beberapa turis asing dari Eropa dan Amerika Serikat untuk melangsungkan pernikahan di dalam laut.
Staf pengajar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Universitas Sam Ratulangi Manado, Dr. Ir. Carolus Paruntu, dalam pemaparannya di Media Informasi Lestari, puing-puing sampah laut (marine debris) muncul akibat dari berbagai aktivitas manusia. Tetapi jelas itu bukan semata-mata berasal dari kegiatan manusia di laut.
Pengelolaan sampah padat memang menjadi masalah besar di Manado, dan secara langsung itu mempengaruhi volume sampah laut di Teluk Manado yang nota bene adalah bagian dari TLNB. Masalah ini, menurut Paruntu, mungkin akan menjadi akut ketika populasi manusia dan industrialisasi meningkat, khususnya di wilayah pesisir dan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berhubungan dengan Teluk Manado.
Jumlah penduduk Kota Manado tahun 2004 sekitar 420.000 jiwa. Jika itu dibandingkan dengan jumlah penduduk tahun 1990 yang sekitar 320.000 jiwa, maka dalam kurun waktu 14 tahun saja itu sudah bertambah 100.000 jiwa. Produksi limbah padat masyarakat kota Manado tahun 1999 rata-rata 1.050 meter kubik per hari dan tahun 2004 rata-rata 1.600 meter kubik per hari. Daya angkut sampah oleh armada Dinas Kebersihan hanya kira-kira 50 persen dari jumlah total sampah per hari.
Berdasarkan hal itu, dapat dicatat bahwa jumlah sampah padat bervariasi dari tahun ke tahun, dan menunjukkan angka yang meningkat seiring dengan pertambahan penduduk di Kota Manado.
Menurut data The United Nation Joint Group of Expert on the Scientific Aspect of Marine Pollution (GESAMP, 1991), 80 persen polusi lautan berasal dari daratan dan puing-puing sampah laut yang masuk ke laut melalui pembuangan secara langsung dari pesisir pantai, maupun secara tidak langsung dari DAS.
Diperkirakan sebanyak 30 persen dari total penduduk Kota Manado mendiami pesisir pantai atau DAS. Panjang garis pantai Kota Manado kira-kira 58,7 km dan terdapat lima sungai besar yang berhubungan dengan pesisir pantai Manado, yaitu Sungai Tondano, Malalayang, Sario, Bailang, Wusa atau Paniki.
Melaksanakan peraturan untuk mencegah orang membuang sampah secara sembarangan memang masih sangat sulit. Buktinya, pemerintah sudah membuat peraturan daerah (perda) dalam rangka mengontrol sumber-sumber sampah ataupun program-program pendidikan untuk mengurangi jumlah sampah, dan melalui kontrol teknologi guna mengumpulkan sampah-sampah padat sebelum dan sesudah mencapai DAS.
Lalu, bagaimana mencegah sampah agar tidak terus menerus dibuang di pedesaan, perkotaan dan tempat-tempat rekreasi? Memang sudah dilakukan, walaupun belum maksimal dan belum menjadi prioritas utama. ”Ada baiknya bila pemerintah segera menuntaskan masalah sampah darat di Manado sampai masalah sampah laut di kawasan TLNB yang sedang mengancam pariwisata dan ekosistem, terumbu karang di wilayah pesisir itu,” ujar Paruntu.
Diharapkan perhatian yang besar dari pemerintah Kota Manado, yaitu pihak eksekutif dan legislatif untuk bertindak tegas dan serius dalam pengelolaan sampah. Misalnya, dengan menetapkan anggaran pengelolaan sampah yang maksimal, karena biaya merupakan salah satu faktor penyebab utama gagalnya pengelolaan sampah.
Kawasan Taman Laut Nasional Bunaken telah ditetapkan pada tahun 1991 meliputi pulau-pulau Bunaken, Siladen, Manado Tua, Mantehage, Nain, dan sebagian wilayah pesisir Tongkaina, Tanjung Pisok, Wori, serta wilayah pesisir Arakan-Wawontulap.
Menurut data dari Turak dan Devantier, 2003, Kawasan TLNB ini meliputi luas 89.000 hektar yang menyediakan habitat bagi paling kurang 1.000 spesis ikan terumbu karang dan sekitar 400 spesis karang batu.
Meski demikian, keanekaragaman spesis di sini dapat terancam, jika dicemari oleh sampah, khususnya sampah plastik yang menumpuk di daerah pesisir maupun yang terapung di perairan. Sampah-sampah plastik dapat menyebabkan matinya terumbu karang karena permukaanya tertutup sampah. Selain itu, sampah dapat membawa organisme asing (alien spesies) ke habitat baru yang dapat mengancam biodiversitas yang ada.
Keprihatinan tentang TLNB bertambah parah lagi dengan adanya reklamasi di Teluk Manado, yang mengakibatkan garis pantai di beberapa kawasan TLNB tak kelihatan lagi. Bahkan akhir-akhir ini tepian pantai sudah sampai di pinggir perumahan penduduk. Padahal sebelum ada reklamasi, hamparan pantai sangat indah dipandang mata, apalagi pada pagi hari.
Add comment March 6th, 2006
Adikarya Wisata Dorong Daya Saing Pariwisata
Kompetisi untuk menarik wisatawan antar daerah membuat industri pariwisata harus mempunyai daya saing. Untuk itu, dibutuhkan sebuah standar penilaian yang berujung pada peningkatan citra positif bagi pelaku usaha sektor tersebut.
“Adikarya Wisata merupakan salah satu bentuk penghargaan Pemda propinsi kepada para pelaku dan pendukung pariwisata untuk membangun sebuah kompetisi yang sehat”, demikian ungkap Kepala Dinas Pariwisata Propinsi DKI Jakarta, Ir. Yusuf Effendi Pohan MPA dalam pertemuannya dengan sejumlah media cetak dan elektronik di Hotel The Dharmawangsa, Jum’at (16/12).
Pentingnya sebuah daya saing serta upaya konsolidasi internal sektor pariwisata menjadi dasar diadakannya penghargaan tersebut. “Kita harus memiliki sebuah sistem punish and reward, sehingga bagi yang berprestasi akan merasa bangga dan berupaya mempertahankan kebanggannya tersebut,” jelas Pohan saat ditanyakan urgensi penyelenggaraan penghargaan Adikarya Wisata ini. Dia mencontohkan Hotel The Darmawangsa yang menjadi pemenang kategori Hotel Berbitang 5 tahun lalu. “Mereka terus menjaga citra positif mereka sebagai pemenang” tambahnya lagi.
Pada penyelenggaraan yang kesepuluh ini lebih dari 750 entitas bisnis pariwisata dan industri jasa terkait akan bersaing memperebutkan penghargaan yang digelar setiap dua tahun. Penghargaan Adikarya Wisata akan terbagi menjadi beberapa kategori diantaranya hotel, convention organizer, event organizer, promotor, biro perjalanan wisata, restoran, hiburan dan rerkreasi, transportasi, pendidikan dan litbang, atraksi wisata serta media.
Untuk melakukan penilaian, sebuah dewan yang beranggotakan 25 orang pakar, profesional dan tokoh masyarakat. Pohan menjelaskan, tokoh-tokoh yang ada di dalam badan ini memiliki integitas dan indepedensi yang tinggi.
Penilaian Adikarya Wisata 2006 sudah dimulai dengan penyebaran kuesioner resmi kepada industri pariwisata dan jasa terkait. Selanjutnya, tim penilai akan melakukan tugasnya selama rentang waktu satu tahun untuk menyaring dan menentukan pemenangnya. Puncak penugerahan Adikarya Wisata akan digelar pada akhir tahun 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar